Tanggal 17 Desember 2013 yang lalu, masayarakat Lombok berbondong-bondong mengunjungi Pura Lingsar, sebuah Pura yang dibangun pada tahun 1759 pada zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke 17 silam.
Suara teriakan, sorak-sorai, memenuhi pelataran depan di Kompleks Pura Lingsar, Lombok Barat. Ratusan orang tua-muda, pria-wanita, dan bahkan anak-anak terbagi menjadi dua posisi. Sebagian di halaman Pura Gaduh, tempat persembahyangan umat Hindu, dan sebagian lagi di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan sebagian masyarakat muslim Sasak.
Saat waktu yang telah di tentukan tiba, ribuan topat yang telah disiapkan di bawa memasuki sebuah bangunan yang disebut makam odek. Dan diiringi oleh berbagai musik tradisional serta sejumlah tokoh dari kedua agama. disini seluruh topat dan berbagai sesajian persembahan di doakan.
Perang topat pun di mulai, kedua kelompok masyarakat Suku Sasak dan Bali saling lempar menggunakan topat sebagai senjata. Meski sempat memancing emosi antara kedua kelompok, namun perseteruan ini tak pernah berlanjut hingga keluar pura. Bahkan seusai perang, warga antar kedua suku dan agama ini menjadi bertambah akrab.
Ya, Perang Topat. Sebuah tradisi yang dilaksanakan turun-temurun setiap tahunnya untuk memperkokoh kerukunan antara Umat Islam dan Hindu di Lombok. Tradisi yang biasanya dilaksanakan setelah panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan juga harapan agar musim tanam berikutnya mendapat kesuburan.
Tradisi Perang Topat yang menjadi event pariwisata daerah selalu menjadi perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara dari tahun ke tahun.
Tahun ini Dinas Pariwisata Lombok Barat mencatat sedikitnya jumlah pengunjung mencapai 25 ribu orang dalam event perang topat tahun ini. Bukan hanya karena menjadi tontonan budaya yang menarik, tetapi juga pesan keberagaman di dalamnya yang membuat event ini menjadi unik.